Oleh: Bernadus Wilson Lumi
DALAM setiap organisasi, terutama yang memiliki posisi strategis dalam kehidupan publik, isu legalitas dan legitimasi kerap menjadi bahan perdebatan panjang. Kedua istilah ini sering kali dipertukarkan, padahal memiliki makna berbeda. Legalitas merujuk pada dasar hukum dan dokumen resmi, sementara legitimasi berkaitan dengan keabsahan proses serta penerimaan publik, termasuk pengakuan pemerintah.
Kasus dualisme kepemimpinan organisasi seperti yang dialami Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat baru-baru ini, menegaskan perbedaan tersebut. Hendry Ch. Bangun memiliki legalita hukum yang sah karena memiliki pengesahan Kementerian Hukum dengan Nomor AHU-0000946.AH.01.08.TAHUN 2024 tertanggal 9 Juli 2024. Ini bukti legalitas di atas kertas, memenuhi ketentuan formal, dan sah secara hukum.
Sebaliknya, Zulmamsyah Sekedang mengklaim kepemimpinan melalui Kongres Luar Biasa (KLB). Meski, KLB itu disebut-sebut cacat prosedur karena hanya dihadiri sebagian perwakilan provinsi, namun mendapat legitimasi dari Dewan Pers dengan mengakui dualisme kepemiminan di tubuh PWI tersebut. Klaim KLB –walau seperti kehilangan dasar keabsahan— namun, di sinilah pentingnya disadari: bahwa sesuatu yang sah bukan hanya lahir dari dokumen, melainkan dari proses yang disepakati benar, diakui dan dapat dipertanggungjawabkan.
Lebih jauh –berkaca lagi dari pengalaman kasus PWI Pusat– kebenaran ternyata tidak bisa diukur hanya dengan selembar surat keputusan atau dukungan sebagian pihak. Ada juga yang lahir dari kepatutan, ”kompromi” pada aturan, keterbukaan, pengakuan lembaga publik dan yang terpenting pengakuan pemerintah tentunya. Tanpa sejumlah aspek ini, legalitas ternyata hanya menjadi formalitas kosong yang kehilangan makna.
Pengakuan pemerintah memegang peranan vital. Pemerintah memiliki otoritas tertinggi untuk mengesahkan sekaligus memastikan organisasi berjalan sesuai koridor hukum. Pengakuan ini bukan sekadar stempel administratif, melainkan penegasan siapa yang benar-benar berhak menjalankan roda organisasi.
Kesimpulannya, legalitas, keabsahan, dan legitimasi dan/atau pengakuan harus berjalan beriringan. Tanpa legalitas, organisasi kehilangan dasar hukum; tanpa keabsahan, ia kehilangan legitimasi; tanpa kebenaran, hilang pula kepercayaan publik. Maka jelas: legalitas semata tidak cukup. Yang terpenting harus juga ada legitimasi yang lahir dari pengkuan.
Kongres Persatuan 2025: Legitimasi PWI ke Depan
Kongres Persatuan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 2025 yang digelar di Cikarang, Bekasi, 29–30 Agustus lalu bukan sekadar forum rutin. Ia menjadi panggung bersejarah: menyatukan kembali organisasi pers tertua di Indonesia yang hampir dua tahun terakhir terbelah akibat dualisme kepengurusan.
Di Kongres ini, Akhmad Munir terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat periode 2025–2030 dengan 52 suara dari 87 suara sah. Sementara itu, Atal S. Depari terpilih sebagai Ketua Dewan Kehormatan dengan selisih tipis. Hasil ini mengirim pesan kuat bahwa demokrasi organisasi masih hidup dan ruang kompromi tetap terbuka.
Dualisme PWI—antara kepemimpinan hasil Kongres Bandung 2023 dan kepengurusan hasil KLB Jakarta 2024— diakui telah menimbulkan luka panjang. Kepengurusan ganda menjalar ke daerah, menimbulkan kebingungan di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, bahkan memicu gesekan menuju perpecahan. Karena itu, lahirnya Kongres Persatuan bukan sekadar agenda organisatoris, melainkan momentum penting memulihkan marwah PWI.
Penandatanganan Pakta Integritas yang Steering Committee dan Ketua PWI Provinsi se-Indonesia menjadi simbol kesadaran bersama bahwa konflik tidak boleh lagi diwariskan. PWI harus kembali menjadi rumah bersama, bukan arena perebutan kekuasaan.
Pertarungan dua kubu sebelumnya telah merugikan kita semua. Klaim Hendry Ch. Bangun memiliki pengesahan Kemenkumham dan Zulmamsyah Sekedang yang mengklaim punya mandat dari KLB telah menghancurkan sendi-sendi di PWI secara keseluruhan.
Seharusnya, perdebatan ini telah berakhir ketika keduan Ketum-nya menandatangani Kesepakatan Jakarta pada Juli 2024 di hadapan saksi Dahlah Dahi dari Dewan Pers. Namun sekarang, masih tersisa! Padahal semua berharap kesepakatan ini membuka jalan damai, menuju tahap legitimasi saat digelarnya Kongres Persatuan 2025 sebagaimana tercantum dalam Kesepakatan Jakarta dimaksud.
Kini, hasil Kongres Persatuan telah sah dan menutup ruang abu-abu itu. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) hadir sebagai fasilitator sekaligus saksi sejarah. Dengan pengakuan resmi negara, hasil kongres ini memiliki legitimasi kuat dan tak bisa diganggu gugat.
Namun, legitimasi pasca-Kongres tidak boleh berhenti di ranah formalitas. Tantangan terbesar adalah mengembalikan kepercayaan publik dan menyatukan sisa-sisa keterbelahan, terutama di aras bawah; pengurus tingkat propinsi, kabupaten, dan kota.
Sisi lain, pers Indonesia tengah menghadapi badai besar: disrupsi digital, krisis bisnis media, serta ancaman independensi akibat tekanan politik dan ekonomi. Untuk itu, PWI harus hadir sebagai jangkar moral, bukan sekadar wadah berkumpulnya wartawan. Kepemimpinan baru dituntut untuk membuka ruang dialog, memperkuat perlindungan profesi, sekaligus memperbarui organisasi agar relevan dengan kebutuhan zaman.
Akhirnya, mari bersatu, wujudkan persatuan, dan Bangkit Bersatu. Sejarah telah mencatat: Kongres Persatuan 2025 bukan hanya mengakhiri dualisme, tetapi juga menentukan arah legitimasi sejati PWI—yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga benar, berintegritas, dan dipercaya publik. #PWIBisa. *