Oleh Junaidi Rusli
Wakil Ketua Umum Forum Pimred Multimedia Indonesia
KEMENTERIAN Sekretariat Negara adalah institusi strategis yang berfungsi mendukung kerja Presiden dan Wakil Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu, setiap kebijakan dan tindakan yang keluar dari Mensesneg tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga berimplikasi langsung terhadap legitimasi politik dan hukum Presiden.
Dalam beberapa waktu terakhir, publik dikejutkan oleh langkah Prasetyo Hadi selaku Menteri Sekretaris Negara yang dinilai melampaui kewenangan. Sebuah surat yang ditandatangani olehnya terkait penunjukan pejabat atau wakil menteri, misalnya, menimbulkan perdebatan hukum dan politik yang serius. Pasalnya, secara konstitusional, UUD 1945 Pasal 17 ayat (2) menyebutkan bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, bukan oleh menteri lainnya.
Tindakan Prasetyo Hadi ini dapat dikategorikan sebagai blunder fatal. Pertama, ia menempatkan dirinya seolah-olah memiliki otoritas di atas Presiden. Padahal, jabatan Mensesneg hanyalah pembantu Presiden dalam urusan administrasi dan tata usaha negara, bukan pengambil keputusan strategis.
Kedua, langkah tersebut melemahkan wibawa Presiden di mata publik. Bagaimana mungkin masyarakat percaya pada otoritas Presiden jika keputusan penting justru diumumkan atau diputuskan oleh seorang menteri sekretaris? Hal ini tidak hanya menciptakan kebingungan, tetapi juga merusak tata kelola pemerintahan yang seharusnya jelas dan hierarkis.
Ketiga, blunder ini membuka ruang tafsir politik yang berbahaya. Oposisi dan kelompok kritis bisa saja menuding bahwa Mensesneg sedang bermain politik di balik layar, atau bahkan berusaha mengendalikan kebijakan presiden. Dalam konteks stabilitas pemerintahan, kesalahan seperti ini adalah titik lemah yang bisa dimanfaatkan untuk melemahkan legitimasi pemerintah.
Mensesneg seharusnya berpegang teguh pada peran teknokratik: menyiapkan dokumen, mengatur protokol, dan menjaga marwah institusi kepresidenan. Bukannya membuat keputusan yang berada di luar kewenangannya. Blunder fatal ini menjadi pelajaran penting bahwa pejabat tinggi negara harus memahami dengan jernih batas-batas kewenangan dan tanggung jawabnya.
Apabila tidak segera dikoreksi, tindakan seperti ini berpotensi menciptakan preseden buruk bagi praktik ketatanegaraan Indonesia. Presiden harus tegas mengingatkan, bahkan jika perlu mengevaluasi, agar Mensesneg tidak lagi mengulangi blunder yang dapat merusak kredibilitas kepemimpinan negara.+++
