Oleh: Hamim Pou
Penulis Pengamat Kebijakan dan Inovasi Daerah, Alumni Universitas Sam Ratulangi Manado
SULAWESI Utara (Sulut) tidak pernah miskin tokoh dan jejak sejarah. Dari Maria Walanda Maramis yang membuka jalan pendidikan perempuan; Sam Ratulangi dengan adagium abadi “si tou timou tumou tou”; A.A. Maramis yang merumuskan fondasi fiskal negara muda; L.N. Palar yang menggetarkan forum Perserikatan Bangsa-Bangsa; hingga Daan Mogot, perwira belia yang gugur gagah. Sejak awal republik, Sulut dikenal sebagai gudang intelektual, pejuang, dan patriot. Sejarah memberi bekal moral, tetapi tidak otomatis menjelma kemakmuran.
Data terbaru BPS menegaskan keunggulan Sulut: Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2024 mencapai 75,68—tertinggi di Sulawesi. Ekonomi tumbuh 5,39% dengan PDRB riil sekitar Rp107,57 triliun. Namun PDRB per kapita ±Rp54 juta masih tertinggal dari Sulawesi Tengah (±Rp120,75 juta) dan Sulawesi Selatan (±Rp73,57 juta). Singkatnya, Sulut unggul dalam kualitas manusia, tetapi belum terkunci dalam nilai tambah ekonomi.
Sementara sebagian tetangga menikmati “booming” emas dan pertambangan, Sulut tampil berbeda: tanpa mineral besar, tetapi punya IPM tertinggi, kultur toleransi yang kokoh, dan posisi strategis di bibir Pasifik dengan Bitung sebagai pintu ekspor-impor. Kelemahannya jelas: basis industri sempit, serapan talenta rendah, pariwisata musiman, logistik dingin belum ajek, dan digitalisasi belum tuntas.
Dalam Indonesia di Pasifik (1937), Sam Ratulangi mengingatkan bahwa masa depan Indonesia banyak ditentukan oleh kedekatannya dengan Samudra Pasifik. Sulut, dengan garis pantai yang panjang dan posisi di utara, sejatinya adalah garda depan republik. Ratulangi menulis bukan sekadar geografis, melainkan geopolitik: siapa menguasai Pasifik, ia ikut menentukan arus sejarah abad ke-21.
Kini ramalan itu kian nyata. Poros pertumbuhan dunia bergeser ke Asia–Pasifik. Sulut bukan pinggiran, melainkan frontier. Jika kita gagal membaca peluang ini, kita hanya akan menjadi penonton di halaman depan sejarah. Sebaliknya, jika mampu mengeksekusi, Sulut bisa tampil sebagai laboratorium ekonomi biru dan pusat gagasan Pasifik.
Peluang itu konkret. Pertama, menjadi simpul dagang–jasa ke Filipina Selatan, Pasifik, dan Jepang: Bitung–Manado bukan sekadar gerbang provinsi, melainkan simpul logistik nasional. Kedua, menggarap ekonomi biru: perikanan berkelanjutan, biofarmakologi laut, hingga energi terbarukan lepas pantai—jalur berbeda dari “ekonomi tambang”. Ketiga, perguruan tinggi di Sulut harus meloncat ke kelas universitas riset—maritim, tropis, dan digital—agar IPM tinggi tidak berakhir sebagai “ekspor” talenta.
Presiden Prabowo beberapa kali menyinggung kedekatannya dengan Minahasa, bahkan menyebut rencana sekolah unggulan di Langowan. Simbol itu bisa berarti banyak jika diikat dengan kebijakan afirmatif. Jika berani, Sulut dapat dijadikan laboratorium ekonomi biru Indonesia—bukan sekadar retorika, melainkan keputusan fiskal, kelembagaan, dan proyek rujukan yang konkret.
Momentum politik Sulut relatif kondusif. Gubernur berasal dari partai yang sama dengan Presiden Prabowo, sehingga memudahkan jalur koordinasi dan percepatan program. Wakil gubernur memang dari partai berbeda, tetapi justru bisa menjadi bukti bahwa kerja sama lintas partai masih mungkin dijalankan demi kepentingan daerah. Jika eksekutif daerah kompak, janji besar di tingkat nasional akan menemukan rumah implementasi di Sulut. Dalam politik pembangunan, harmoni antara simbol, kelembagaan, dan fiskal adalah syarat utama.
Dengan IPM 75,68 pada 2024 dan kenaikan rata-rata 0,6 poin per tahun, Sulut akan menembus 80 pada 2031–2033. Itu baseline. Namun jika tuas percepatan diaktifkan—penurunan cepat stunting & TBC, akselerasi pendidikan vokasi dan riset, serta lonjakan partisipasi kerja perempuan lewat care economy dan hilirisasi perikanan—laju bisa naik ke +0,8 poin per tahun.
Artinya, pada 2045 IPM Sulut akan menembus 85+. Lompatan ini menempatkan Sulut setara kota-kota maju ASEAN: Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Hanoi, dan Ho Chi Minh City. Menyebut nama-nama kota itu bukan untuk berlebihan, melainkan untuk memberi bayangan konkret: IPM 85 berarti kualitas hidup Sulut setara kota besar dengan standar pendidikan tinggi, pelayanan kesehatan maju, dan daya beli kelas menengah mapan.
Lompatan itu butuh strategi. Saya ajukan lima terobosan yang konkret:
1) 10.000 Sulut Fellows (2026–2032)—beasiswa kader muda Sulut di bidang sains, maritim, kesehatan, dan teknologi, dengan kontrak mengabdi di ekosistem riset–industri lokal minimal lima tahun. Kata “Sulut” menggambarkan keragaman identitas etnis, budaya, dan agama yang bersatu membangun rumah bersama.
2) Sulut Data Commons—platform terbuka data perikanan, pariwisata, logistik, dan tenaga kerja, agar kebijakan berbasis bukti, bukan sekadar grafis presentasi.
3) Manado–Bitung Innovation Belt—klaster olahan perikanan, logistik dingin, dan ekonomi kreatif digital, lengkap dengan cold chain publik–swasta, insentif investasi berbasis produktivitas, serta pusat desain dan kemasan produk laut Sulut.
4) Blue Deal Sulawesi—koalisi lintas provinsi untuk mengelola pesisir dan laut secara bersama (penangkapan terukur, stock assessment, kawasan konservasi produktif), sehingga mencegah duplikasi kebijakan dan kompetisi yang merusak.
5) Agenda Meritokrasi Politik—reformasi rekrutmen partai politik lokal: open primary internal, ambang batas kaderisasi profesional, dan proteksi whistleblower untuk memotong patronase. Berat, tetapi tanpa ini semua mesin talenta akan macet.
Sulut punya bekal tradisi tokoh bangsa, modal manusia yang unggul, dan posisi geopolitik strategis di bibir Pasifik. Dengan IPM 85 di 2045, Sulut akan menembus standar kota-kota maju ASEAN—menjadi rumah bagi manusia yang sehat, berpendidikan tinggi, produktif, dan sejahtera. Identitas kita tidak lagi sekadar “pinggiran” atau “gudang tokoh”, tetapi poros Pasifik Indonesia: pusat gagasan, pusat ilmu, pusat industri biru–hijau, sekaligus simpul kerja sama internasional.
Sam Ratulangi sudah menuliskan imajinasi itu hampir seabad lalu. Tugas generasi kini adalah menjadikannya nyata. Dengan kepemimpinan politik yang harmonis, kebijakan nasional yang afirmatif, dan keberanian menembus patronase, Sulut bisa menulis ulang sejarahnya: dari gudang tokoh menjadi pusat peradaban Pasifik, dari nostalgia menjadi energi, dari pinggiran menjadi wajah depan Indonesia di dunia.
Pada akhirnya, kekuatan Sulut bukan pada emas, melainkan pada akal sehat, jejaring, dan disiplin belajar. Jika itu kita rawat bersama, maka janji Prabowo kepada Sulut tidak berhenti pada simbol Minahasa, tetapi berubah menjadi realitas sejarah baru: Sulut, dengan manusia 85+, ekonomi biru, dan semangat gotong royong, tampil setara Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Hanoi, dan Ho Chi Minh City pada 2045.***
